DARUSSALAM

15 Jul 2020

3 Jul 2018

HUKUM MENEMPELKAN KAKI SAAT BERJAMAAH



Menempelkan Kaki saat Shalat Berjamaah

Assalammu’alaikum ustadz, ada yang hendak kami tanyakan terkait shaf shalat:

1. Apa sebenarnya hukum shalat jamaah dengan menyentuhkan ujung jari kaki jamaah sebelahnya?
2. Apakah ada dalilnya yang kuat?
3. Bagaimana pendapat jumhur ulama?
4. Bagaimana dengan kekusyukan shalat berjamaah?

Waalaikum salam warahmatullahi wa barakatuhu.
Sejak dulu sampai shalat yang kita laksanakan dalam mengatur shaf sudah benar. Hanya saja sejak munculnya kelompok-kelompok baru yang memiliki pemahaman tekstual pada dalil memuncak pemahaman baru dalam mengatur shaf sampai ada yang menempelkan ujung kaki, bahkan ada yang sedikit menginjak kaki kita, meski kita sudah bergeser namun kami mereka terus mengejar, karena menurut mereka ini adalah sunah.

Pemahaman mereka bersumber dari hadis riwayat Anas bin Malik:

 عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ»

Dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: ”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.” ada salah seorang diantara kami orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya. (HR. Bukhari)

Mari kita lihat pendapat para ulama berkaitan memahami makna hadis diatas antara Ulama Wahabi dan ulama bermazhab yang diikuti oleh mayoritas umat Islam.

1. ULAMA WAHABI

Ada perbedaan pendapat di internal ulama Wahabi dalam memahami hadis ini. Pertama syekh Nashiruddin al-Albani:

وقد أنكر بعض الكاتبين في العصر الحاضر هذا الإلزاق, وزعم أنه هيئة زائدة على الوارد, فيها إيغال في تطبيق السنة! وزعم أن المراد بالإلزاق الحث على سد الخلل لا حقيقة الإلزاق, وهذا تعطيل للأحكام العملية, يشبه تماما تعطيل الصفات الإلهية, بل هذا أسوأ منه

Sebagian penulis zaman ini telah mengingkari adanya ilzaq (menempelkan mata kaki, lutut, bahu), hal ini bisa dikatakan menjauhkan dari menerapkan sunnah. Dia menyangka bahwa yang dimaksud dengan “ilzaq” adalah anjuran untuk merapatkan barisan saja, bukan benar-benar menempel. Hal tersebut merupakan ta’thil (pengingkaran) terhadap hukum-hukum yang bersifat alamiyyah, persis sebagaimana ta’thil (pengingkaran) dalam sifat Ilahiyyah. Bahkan lebih jelek dari itu. (Al-Albani, Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, hal. 6/77)

Pendapat ini yang diamalkan oleh pengikut Wahabi, mereka sangat yakin bahwa pemahaman syekh Albani paling sesuai Sunnah Nabi, yaitu menempelkan bahu dan kaki sejak awal shalat sampai selesai salam.

Kedua, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, berkata:

أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف, فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة.

Setiap masing-masing jamaah hendaknya menempelkan mata kaki dengan jamaah sampingnya, agar shof benar-benar lurus. Tapi menempelkan mata kaki itu bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah itu menempelkan mata kaki dengan jamaah lain agar shafnya lurus. "Maksudnya bukan terus menerus menempel sampai selesai shalat." (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; w. 1421 H, Fatawa Arkan al-Iman, hal. 1/ 311)

2. MAYORITAS ULAMA

Dalam hal ini diwakili oleh ulama ahli hadis dari madzhab Syafi'i Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H), beliau berkata:

الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ

(Yang dilakukan sahabat tersebut adalah) benar-benar meluruskan shaf dan menutup celah. [Fathu al-Bari, hal. 2/211]

Beliau kemudian mengutip riwayat:

وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس.

Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu (menempelkan kaki) saya lakukan dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas. [Fathu al-Bari, hal. 2/211]

Posisi Kaki Dalam Shaf Menurut Madzhab Syafi'i

وتعتبر المسافة في عرض الصفوف بما يهيأ للصلاة وهو ما يسعهم عادة مصطفين من غير إفراط في السعة والضيق اهـ

“Disebutkan bahwa ukuran lebar shof ketika hendak sholat yaitu yang umum dilakukan oleh seseorang, dengan tanpa berlebihan dalam lebar dan sempitnya.” (Bughyatul Mustarsyidin hal 140)

MENGGANGGU KHUSYUK?

Amat benar jika menempelkan kaki ini memang mengganggu kekhusyukan shalat, hal ini difatwakan oleh ulama Al-Azhar Mesir:

ﻭﻗﺪ ﻳﺤﺮﺹ ﺑﻌﺾ اﻷﺷﺨﺎﺹ ﻋﻠﻰ ﺇﻟﺰاﻕ اﻟﻜﻌﻮﺏ، ﻋﻠﻰ اﻟﺮﻏﻢ ﻣﻦ ﺗﻔﺎﺣﺶ اﻟﻤﺴﺎﻓﺔ ﺑﻴﻦ ﻗﺪﻣﻴﻪ، ﻓﻬﻮ ﻳﺮﻳﺪ ﻓﻌﻞ ﺳﻨﺔ ﻓﻴﻘﻊ ﻓﻰ ﻣﻜﺮﻭﻩ، ﺇﻟﻰ ﺟﺎﻧﺐ ﻣﻀﺎﻳﻘﺘﻪ ﻟﻤﻦ ﺑﺠﻮاﺭﻩ اﻟﺬﻯ ﻳﺤﺎﻭﻝ ﺿﻢ ﻗﺪﻣﻴﻪ ﻟﻜﻨﻪ ﻳﻼﺣﻘﻪ ﻭﻳﻔﺮﺝ ﺑﻴﻦ ﻗﺪﻣﻴﻪ ﺑﺼﻮﺭﺓ ﻻﻓﺘﺔ ﻟﻠﻨﻈﺮ ﻭﻗﺪ ﻳﻀﻊ ﺭﺟﻠﻪ ﻭﻳﻀﻐﻂ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﻣﻀﺎﻳﻘﺔ اﻟﻤﺼﻠﻰ ﺗﺬﻫﺐ ﺧﺸﻮﻋﻪ ﺃﻭ ﺗﻘﻠﻠﻪ، ﻭاﻹﺳﻼﻡ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ اﻟﻀﺮﺭ ﻭاﻟﻀﺮاﺭ.

Sebagian orang semangat untuk menempelkan kaki karena menganggap buruk lebarnya 2 kaki. Dia ingin melakukan sunah namun jatuh pada perbuatan makruh, yaitu menyempitkan orang sebelahnya dengan menginjak kakinya. Hal ini dapat menghilangkan khusyuk atau mengurangi kekhusyukan. Dan Islam melarang untuk menyakiti kepada orang lain (Fatawa Al-Azhar 9/86)

KESIMPULAN:
MERAPATKAN SHAF ADALAH KESUNAHAN, BUKAN WAJIB. JANGAN SAMPAI SUNAH INI MENGHILANGKAN KHUSYUK DALAM SHALAT ORANG DI SEBELAHNYA

Ma'ruf Khozin anggota Aswaja NU Center PWNU Jatim

19 Jun 2018

TIDAK MENGETAHUI SYARAT RUKUNNYA WUDHU, MEMASUKI THARIQAH



Pertanyaan :

Bolehkah orang awam yang tidak mengetahui syarat  rukun wudhu, shalat dan sebagainya, memasuki thariqah mu’tabarah? Karena biasanya mereka tidak mau mempelajari pengetahuan agama sesudah masuk thariqah.

Jawab :

Boleh. Apabila mempunyai keyakinan atau perkiraan bahwa sesudah masuk thariqah akan dapat mempelajari pengetahuan agama, akan tetapi bila tidak, seperti tersebut dalam soal, maka hukumnya tidak boleh, bahkan lebih dahulu wajib mempelajari dasar-dasar pokok agama (ushuluddin). Dan kemudian baru perinciannya (hukum ibadahnya).

Keterangan, dari kitab:

Kifayah al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’[1]

وَكَذَا الطَّرِيْقَةُ وَالْحَقِيْقَةُ يَا أَخِيْ. مِنْ غَيْرِ فِعْلِ شَرِيْعَةٍ لَنْ تَحْصُلاَ. فَالْمُؤْمِنُ وَإِنْ عَلَتْ دَرَجَتُهُ وَارْتَفَعَتْ مَنْزِلَتُهُ وَصَارَ مِنْ جُمْلَةِ اْلأَوْلِيَاءِ لاَ تَسْقُطُ عَنْهُ الْعِبَادَاتُ الْمَفْرُوْضَةُ فِي الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ مَنْ صَارَ وَلِيًّا وَصَلَ إِلَى الْحَقِيْقَةِ سَقَطَتْ عَنْهُ الشَّرِيْعَةُ فَهُوَ ضَالٌّ مُضِلٌّ مُلْحِدٌ.

Demikian halnya thariqah dan haqiqah wahai saudaraku tanpa disertai pengamalan syariat, maka keduanya tidak akan berhasil. Seorang mukmin walaupun sudah sangat tinggi derajat dan kedudukannya, dan ia termasuk para wali, segala ibadah yang diwajibkan dalam al-Qur’an dan Sunnah, tetap tidak gugur dari dirinya. Maka barangsiapa menyangka seseorang yang telah menjadi wali yang mencapai haqiqah maka syariat tidak berlaku lagi baginya, maka ia termasuk orang yang sesat, menyesatkan dan anti tuhan (atheis).

[1] Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, Kifayah al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’, (Semarang: Usaha keluarga, t. th.), 12.



Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 115

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-6

Di Pekalongan Pada Tanggal 12 Rabiuts Tsani 1350 H. / 27 Agustus 1931 M.

17 Jun 2018

MUSHALA YANG DIWAKAFKAN TIDAK BISA MENJADI MASJID, KALAU TIDAK DINIATKAN


Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya tempat yang diwakafkan untuk sembahyang, apakah tempat itu menjadi mesjid sebagaimana keterangan dalam kitab safinah?

Jawab :

Bahwa tempat itu tidak menjadi mesjid apabila tidak diniatkan menjadi mesjid.

Keterangan, dari kitab:

Mughni al-Muhtaj [1]

وَلاَ يَصِحُّ الْوَقْفُ إِلاَّ بِلَفْظٍ مِنْ نَاطِقٍ يُشْعِرُ بِالْمُرَادِ إِلَى أَنْ قَالَ: تَنْبِيْهٌ يُسْتَثْنَى مِنْ اشْتِرَاطِ اللَّفْظِ مَا إِذَا بَنَى مَسْجِدًا فِيْ مَوَاتٍ وَنَوَى جَعْلَهُ مَسْجِدًا فَإِنَّهُ يَصِيْرُ مَسْجِدًا وَلَمْ يَحْتَجَّ إِلَى لَفْظٍ كَمَا قَالَهُ فِي الْكِفَايَةِ تَبَعًا لِلْماَوَرْدِي لِأَنَّ الْفِعْلَ مَعَ النِّيَّةِ مُغْنِيَانِ عَنِ الْقَوْلِ. وَوَجَّهَهُ السُّبُكِيّ بِأَنَّ الْمَوَاتِ لَمْ يَدْخُلْ فِيْ مِلْكِ مَنْ أَحْيَاهُ مَسْجِدًا وَإِنَّمَا احْتِيْجَ لِلَفْظِ لِإِخْرَاجِ مَا كَانَ مِلْكَهُ عَنْهُ وَصَارَ لِلْبِنَاءِ حُكْمُ الْمَسْجِدِ تَبَعًا قَالَ اْلإِسْنَوِيُّ وَقِيَاسُ ذَلِكَ إِجْرَاؤُهُ فِيْ غَيْرِ الْمَسْجِدِ أَيْضًا مِنَ الْمَدَارِسِ وَالرِّبَاطِ وَغَيْرِهَمَا وَكَلاَمُ الرَّافِعِي فِيْ إِحْيَاءِ الْمَوَاتِ يَدُلُّ لَهُ.

Wakaf itu tidak sah kecuali disertai ucapan (dari yang mewakafkan) yang memberikan pengertian (pewakafan) yang dimaksud ... dikecualikan dari syarat mengucapan, bila seseorang membangun mesjid di lahan bebas, dan ia berniat menjadikannya mesjid, maka bangunan tersebut menjadi mesjid tanpa memerlukan ucapan pewakafan. Hal ini sebagaimana pendapat Ibn Rif’ah dalam kitab al-Kifayah dengan mengikuti al-Mawardi: “Sebab aktifitas membangun disertai niat menjadikannya mesjid sudah mencukupi pewakafan dari pengucapan wakaf. Al-Subki memperkuatnya, bahwa lahan bebas tersebut tidak menjadi milik seseorang yang membukanya sebagai mesjid. Diperlukannya pengucapan wakaf itu untuk mengeluarkan lahan dari kepemilikan seseorang. Dan untuk bangunannya diberlakukan hukum mesjid karena mengikuti lahannya. Al-Isnawi berpendapat: “Dan hukum qiyas kasus tersebut adalah pemberlakuannya pada selain mesjid, yaitu sekolah-sekolah, pesantren-pesantren, dan selainnya. Pendapat al-Rafi’i dalam bab Ihya al-Mawat juga menunjukkan demikian.

I’anah al-Thalibin [2]

(قَوْلُهُ وَوَقَفْتُهُ لِلصَّلاَةِ إِلَخ) أَيْ وَإِذَا قَالَ الْوَاقِفُ وَقَفْتُ هَذَا الْمَكَانَ لِلصَّلاَةِ فَهُوَ صَرِيْحٌ فِيْ مُطْلَقِ الْوَقْفِيَّةِ (قَوْلُهُ وَكِنَايَةٌ فِيْ خُصُوْصِ الْمَسْجِدِيَّةِ فَلاَ بُدَّ مِنْ نِيَّتِهَا) فَإِنْ نَوَى الْمَسْجِدِيَّةَ صَارَ مَسْجِدًا وَإِلاَّ صَارَ وَقْفًا عَلَى الصَّلاَةِ فَقَطْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَسْجِدًا كَالْمَدْرَسَةِ.

(Ungkapan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Saya mewakafkannya untuk shalat.”), yakni jika si pewakaf  berkata: “Saya wakafkan tempat ini untuk shalat.” Maka ucapan itu termasuk sharih (jelas) dalam kemutlakan wakaf. (Ungkapan beliau: “Dan kinayah dalam kekhususannya sebagai mesjid, maka harus ada niat menjadikannya mesjid.”) Jika ia berniat menjadikan mesjid, maka tempat tersebut menjadi mesjid. Jika tidak, maka hanya menjadi wakaf untuk shalat saja, dan tidak menjadi mesjid seperti sekolahan.

[1] Muhammad al-Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ‘ala al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1424 H/2003 M), Jilid II, h. 517.

[2] Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t .th). Jilid III, h. 160.



Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 169

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-10

Di Surakarta Pada Tanggal 10 Muharram 1354 H. / April 1935 M.

15 Jun 2018

SHALAT YANG MENGHADAP LURUS KE BARAT BENAR (TIDAK MEMBELOK KE ARAH KIBLAT)



Pertanyaan :

Apakah hukum orang sembahyang dengan menghadap lurus ke barat benar, tidak membelok ke arah kiblat, dengan tidak niat mengikuti pendapat mazhab Hanafi yang memperbolehkan menghadap Jihah. Dan bagaimana hukum makmum pada orang yang menghadap demikian dengan tidak mengetahui apakah si imam itu niat mengikuti mazhab Hanafi, atau tidak mengerti pula bahwa menghadap demikian itu tidak sah menurut mazhab Syafi’i, sahkah sembahyangnya?

Jawab :

Sah sembahyangnya, bagi orang yang tidak mengerti mencari tanda-tanda kiblat yang sah, juga sembahyang makmum yang meyakinkan imamnya demikian halnya. Sedang bagi orang yang mengerti mencari tanda-tanda kiblat, dan dapat menghasilkan maka tidak sah sembahyangnya kecuali menghadap ke Ka’bah, juga tidak sah sembahyang yang dilakukan makmum yang tidak mengerti ketidaksahnya imam.

Keterangan, dari kitab:

Bughyah al-Mustarsyidin[1]

مَحَلُّ اْلإِكْتِفَاءِ بِالْجِهَّةِ عَلَى الْقَوْلِ بِهِ عِنْدَ عَدَمِ الْعِلْمِ بِأَدِلَّةِ الْعَيْنِ إِذِ الْقَادِرُ عَلَى الْعَيْنِ إِنْ فُرِضَ حُصُوْلُهُ بِاْلإِجْتِهَادِ لاَ يُجْزِيْهِ اسْتِقْبَالُ الْجِهَّةِ قَطْعًا وَمَا حَمَلَ الْقَائِلِيْنَ بِالْجِهَّةِ ذَلِكَ إِلاَّ كَوْنُهُمْ رَأَوْا أَنَّ اسْتِقْبَالَ الْعَيْنِ بِاْلإِجْتِهَادِ مُتَعَذِّرٌ.

Kondisi cukup menghadap arah (ka’bah ke barat saja misalnya) adalah saat tidak mengetahui tanda-tanda arah ka’bah. Karena orang yang mampu mengetahui ka’bah bila diandaikan bisa dihasilkan dengan berijtihad, maka ia tidak cukup menghadap arah saja secara pasti (tanpa khilafiyah). Tidak ada yang mendorong ulama yang membolehkan menghadap ke arah ka’bah melainkan mereka memandang bahwa menghadap ka’bah dengan berijtihad itu sulit dilakukan.

[1] Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1371 H/1952 M)), h. 39-40.



Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 150

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-9

Di Banyuwangi Pada Tanggal 8 Muharram 1353 H. / 23 April 1934 M.

14 Jun 2018

MEMBAYAR FIDYAH SEBAB MENINGGALKAN KEWAJIBAN



Pertanyaan :

Kalau orang yang berkewajiban qadha shalat fardhu delapan hari, meninggal dunia, di antara ulama memberi petunjuk supaya membayar fidyah empat puluh mud, untuk fidyah qadha delapan hari, tetapi di antara ulama lain memberi petunjuk supaya berfidyah sejak waktu baligh sampai meninggal dunia. Maka mana yang benar di antara dua petunjuk tadi?

Jawab :

Adapun yang benar: yaitu petunjuk yang pertama yakni membayar fidyah empat puluh mud, karena meninggalkan shalat delapan hari kali lima waktu sama dengan empat puluh waktu. Tiap-tiap waktu satu  mud.

Keterangan, dari kitab:

I’anah al-Thalibin[1]


وَفِيْ وَجْهٍ عَلَيْهِ كَثِيْرُوْنَ مِنْ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ يُطْعِمُهُ عَنْ كُلِّ صَلاَةٍ مُدًّا.

Dalam suatu pendapat yang banyak dianut para ulama dari kalangan kita adalah, bahwa ia harus memberi makan satu mud untuk setiap kali shalat (yang ditinggalkan).

[1] Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t .th). Jilid I, h. 24.



Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 158

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-10

Di Surakarta Pada Tanggal 10 Muharram 1354 H. / April 1935 M.

13 Jun 2018

UANG SIMPANAN, APAKAH KENA KEWAJIBAN ZAKAT?

Banyak masuk atensi kepada penulis beberapa hari terakhir yang menanyakan seputar zakat uang. Beberapa dari penanya ingin diberitahu tentang apakah uang simpanan mereka termasuk yang wajib dikenai zakat apa tidak. Kali ini pengkaji akan mencoba mengupas masalah ini dengan menimbang segi teori uang yang pernah kita kupas sebelumnya dalam forum ini. 

Pertama yang harus kita perhatikan adalah bahwa kewajiban zakāt māl adalah berlaku pada harta yang tersimpan (kanzun) yang terdiri atas emas dan perak. Ayat yang menjelaskan hal ini adalah QS at-Taubah ayat 34: “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak kemudian ia tidak menafkahkannya di jalan Allah (mengeluarkan zakatnya), maka berilah kabar gembira terhadap mereka akan azab yang teramat pedih.” 

Kita bicara tentang emas dan perak. Ada dua jenis emas dan perak yang saat ini beredar di masyarakat, yaitu pertama berupa emas murni yang biasanya berwujud emas batangan, dan kedua berupa emas yang dicetak. Untuk emas yang dicetak umumnya disebut sebagai huliyyin mubāh, yaitu perhiasan mubah. Ada kalanya emas yang ada dalam bentuk cetak ini berupa kalung, cincin, atau berupa mata uang seperti dinar dan dirham.

Nishab dari huliyyin mubah ini adalah 20 mitsqāl, setara dengan 20 dinar, atau kurang lebih 425 gram. Sementara nishab emas murni adalah setara 85 gram. Masing-masing dari emas murni dan emas yang dicetak ini wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% (rub’u al-‘ushr). Untuk nishab perak dalam bentuk huliyyin mubah, adalah sama dengan 200 dirham atau setara dengan kadar 2.975 gram. Adapun bila dalam bentuk perak murni (batangan), maka nishabnya setara dengan ukuran timbangan 595 gram. Zakat yang wajib dikeluarkan dari perak ini juga sama yaitu 2,5%-nya. Catatan yang perlu diperhatikan dari keberadaan zakat emas dan perak tadi adalah bahwa keduanya telah disimpan (kanzun) selama kurang lebih 1 tahun, baik dalam bentuk batangan murni atau dalam bentuk cetak (Lihat KH. Afifuddin Muhadjir, Fathu al-Mudjīb al-Qarīb fi hilli Alfādhi al-Taqrīb, Situbondo: Ibrahimy Press, 2014, hal. 48). 

Lantas apa hubungannya keberadaan emas dan perak ini dengan uang? Jawabnya adalah hubungannya sangat erat. Mengapa? Karena sejarah mata uang di dunia ini erat hubungannya dengan emas dan perak. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih klasik pun juga disebutkan adanya relasi antara mata uang dengan emas dan perak. Bahkan dalam Keputusan Muktamar ke-8 Nahdlatul Ulama di Jakarta, tanggal 12 Muharram 1352 H./ 7 Mei 1933 M juga menyamakan kedudukan uang ini sama dengan emas dan perak. Namun menilik dari tahun dihasilkannya keputusan, keputusan ini tidak bisa disalahkan karena memang pada tahun itu kedudukan uang masih memiliki simpanan berupa cadangan emas yang terletak di Bank Indonesia.

Pasca dihasilkannya keputusan Muktamar NU yang ke-8 ini berlaku hukum bahwa setiap uang yang disimpan oleh masyarakat, adalah bernilai cadangan emas dan perak. Karena ia bernilai cadangan emas, maka bila uang tersebut disimpan selama satu tahun, baik disimpan sendiri atau disimpan di bank, dengan catatan yaitu asal tidak dipergunakan sama sekali, maka dari uang ini berlaku nishab zakat.

Nishab ini ditentukan kadarnya berdasar nishab emas dan perak murni. Bila dalam 1 gram emas murni bernilai 500 ribu (misalnya), maka harga 85 gram emas adalah setara dengan Rp42.500.000. Dengan demikian, zakat yang wajib dikeluarkan adalah menjadi sebesar 2,5%-nya sehingga bernilai Rp1.062.000. Arti lain dari hal ini adalah, setiap masyarakat yang memiliki uang simpanan sebesar Rp. 42.500.000 adalah sudah setara dengan memiliki 85 gram emas sehingga wajib dikeluarkan zakatnya.

Keberadaan uang ini adalah baik yang disimpan sendiri maupun yang disimpan dalam unit niaga seperti perbankan dan lembaga/tempat penyimpanan lainnya. Akan tetapi, keputusan ini adalah berlaku ketika mata uang masih memiliki simpanan cadangan emas di bank, yaitu tepatnya era sebelum tahun 1970-an. Lantas bagaimana dengan uang dewasa ini?

Seiring dengan perkembangan zaman, kedudukan mata uang telah berubah. Negara sekarang memakai jenis mata uang fiat yang mana nilainya tidak ditentukan berdasarkan cadangan emas yang tersimpan, melainkan ia ditentukan berdasarkan hasil neraca perdagangan. Makna uang sudah bergeser menjadi makna niaga karena setiap satuan mata uang ditentukan nilainya dari hasil perniagaan. Syarat dari niaga (tijarah) adalah perputaran mata uang di unit niaga dan adanya ‘urudlu al-tijarah (modal niaga). Oleh karena itu, untuk mata uang yang tidak berada dalam satuan unit niaga ini, maka uang tersebut tidak bisa disebut mengalami perputaran. Lantas, dimanakah letak unit niaganya?

Suatu misal, ada orang yang menyimpan uang secara konvensional yaitu menyimpan uang secara klasik di rumah. Selama satu tahun uang tersebut tidak dipakai untuk suatu jenis usaha tertentu, maka secara tidak langsung uang masyarakat seperti ini disebut tidak mengalami perputaran. Karena tidak mengalami perputaran, maka tidak ada yang disebut 'urudlu al-tijarah (modal niaga). Padahal, keberadaan 'urudlu al-tijarah inilah yang menjadi dasar utama ditetapkannya zakat, yakni zakat tijarah (zakat niaga).

Berbeda halnya bila uang masyarakat disimpan di bank. Sebagaimana yang dahulu juga kita bahas bahwa pada dasarnya uang yang disimpan di bank dalam bentuk deposito dan reksadana adalah diawali dengan akad serah terima modal antara nasabah dengan perbankan sebagai wakil nasabah untuk menyalurkan ke unit niaga yang aman bagi dana nasabah. Oleh karena itu, uang yang dititipkan ke bank oleh nasabah bisa disebut sebagai urudlu al-tijarah, karena ada unsur serah terima modal tersebut. Karena adanya unsur serah terima modal, maka berlaku pula hukum zakat niaga sebesar 2,5% bilamana uang tersebut telah mencapai haul (satu tahun). 

Sebagai ilustrasi misalnya Pak Ahmad mendepositokan uangnya sebesar 10 juta rupiah pada 5 Syawal 1438 H. Pada saat kalender sudah menunjuk 5 Syawal 1439 H, ternyata uang Pak Ahmad telah mencapai 12 juta rupiah. Berapakah zakat yang harus dikeluarkan oleh Pak Ahmad? Jawabnya adalah dengan mendasarkan pada hitungan urudlu al-tijarah sebesar 10 juta maka dihitung bahwa besarnya zakat Pak Ahmad adalah sebesar 250 ribu rupiah. Hal ini tentu tidak berlaku bilamana Pak Ahmad menyimpan uang tersebut di rumah sendiri, karena uang sebesar 10 juta tidak mengalami perputaran dalam unit niaga.

Semoga uraian singkat ini bisa menghapus silang sengkarut soal apakah uang simpanan dan tabungan wajib dikeluarkan zakatnya apa tidak. Sebagai garis besar jawabnya adalah apakah uang tersebut dipergunakan dalam unit niaga atau tidak. Bila dipergunakan, maka wajib dikeluarkan zakatnya, dan bila tidak digunakan dan hanya disimpan sendiri, maka tidak wajib dikeluarkan. Wallahu a’lam bi al-shawab. 


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean
dilansir dari: nu online

Ad Placement