ilustrasi |
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang kami hormati. Terlebih dahulu kami mohon maaf karena kami akan mengajukan setidaknya tiga pertanyaan. Pertama adalah mengenai makna fitrah yang ada dalam hadits, “Lima perkara merupakan fitrah yaitu, mencukur bulu kemaluan, berkhitan, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku.”
Kedua, kapan waktu yang tepat untuk mencukur bulu kemaluan dan bulu ketiak. Ketiga, mengenai hikmah di balik pencabutan bulu ketiak dan pencukuran bulu kemaluan. Kenapa bulu ketiak dicabut sedang bulu kemaluan dicukur, serta bolehkah kalau buku ketiak dicukur? Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Soleh/Bogor)
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Ada beberapa pertanyaan yang diajukan kepada kami. Pertama, terkait soal makna fitrah dalam hadits yang membicarakan lima hal yang merupakan fitrah, di antaranya adalah soal mencukur bulu kemaluan dan mencabut bulu ketiak.
Kedua, mengenai kapan waktu yang tepat untuk mencabut bulu ketiak dan memotong bulu kemaluan. Sedang ketiga adalah tentang hikmah di balik pencukuran rambut kemaluan, dan pencabutan rambut ketiak.
Dalam kesempatan ini kami akan menjawab pertanyaan pertama terlebih dahulu, yaitu mengenai maksud dari kata fithrah yang terdapat dalam hadits mengenai lima hal yang merupakan fitrah. Redaksi hadits adalah berikut ini.
خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ: الِاسْتِحْدَادُ والْخِتَانُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ
Artinya, “Lima perkara merupakan fitrah, yaitu mencukur bulu kemaluan, berkhitan, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku,” (HR Muslim).
Para ulama berbeda pendapat ketika menafsirkan kata ‘fitrah’ dalam hadits tersebut. Misalnya dari kalangan Madzhab Syafi’i seperti Abu Ishaq As-Syirazi dan Al-Mawardi menafsirkan kata ‘fitrah’ dalam hadits tersebut dengan agama (ad-din). Sedangkan mayoritas ulama menurut Al-Khaththabi menafsirkannya dengan sunah atau kebiasan yang biasa dipraktikkan.
خَمْس مِنْ الْفِطْرَة ) قَالَ النَّوَوِيّ : هِيَ بِكَسْرِ الْفَاء وَأَصْلهَا الْخِلْقَة قَالَ تَعَالَى { فِطْرَة اللَّه الَّتِي فَطَرَ النَّاس عَلَيْهَا }وَاخْتَلَفُوا فِي تَفْسِيرهَا فِي هَذَا الْحَدِيث فَقَالَ الشَّيْخ أَبُو إِسْحَاق الشِّيرَازِيّ فِي الْخِلَاف وَالْمَاوَرْدِيّ فِي الْحَاوِي وَغَيْرهمَا مِنْ أَصْحَابنَا هِيَ الدِّين ، وَقَالَ الْخَطَّابِيُّ فَسَّرَهَا أَكْثَر الْعُلَمَاء فِي هَذَا الْحَدِيث بِالسُّنَّةِ
Artinya, “Menurut An-Nawawi, bahwa kata yang terdiri dari huruf fa-th-ra-ta (marbuthah) itu berharakat kasrah pada huruf fa-nya dan makna asalnya adalah khilqah (penciptaan). Allah SWT berfirman, ‘Tetaplah atas fitrah (penciptaan) Allah yang telah menciptakaan manusia menurut fitrah itu,’ (QS Ar-Rum [30]: 30). Para ulama berselisih pendapat mengenai tafsir yang tepat terhadap kata fitrah dalam hadits ini. Menurut Syaikh Abu Ishaq As-Syirazi dalam kitab Al-Khilaf, Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi dan para ulama selain keduanya dari kalangan Madzhab Syafi’i maka fitrah dalam hadits tersebut adalah agama (ad-din). Menurut Al-Khaththabi, kebanyakan para ulama menafsirkan kata fitrah dalam hadits tersebut adalah sunah (kebiasaan yang biasa dipraktikkan atau dilakukan). (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah-Maktabah Al-Irsyad, juz I, halaman 338).
Namun pandangan mayoritas ulama yang menafsirkan kata ‘fithrah’ dalam hadits tersebut dengan sunah dikritisi oleh Ibnus Shalah. Bagi Ibnus Shalah, penafsiran kata ‘fithrah’ dengan ‘sunah’ jelas akan menimbulkan kesulitan atau kerancuan tersendiri. Sebab, secara bahasa makna sunah itu jauh sekali dari makna fitrah.
Oleh karena itu ia memberikan tawaran baru untuk menyelasaikan problem tersebut. Menurutnya, ada yang dibuang sebelum kata fithrah (penciptaan) dalam hadits tersebut yaitu bisa kata ‘sunah’ atau ‘adab’.
Jadi asalnya adalah sunatul fithrah (kebiasaan dari fitrah atau penciptaan) atau adabul fithrah (etika yang lahir dari fitrah). Konsekuensi dari pembuangan tersebut menjadikan kata fithrah menempati posisi kata yang dibuang yaitu sunah atau adab.
وَقَالَ أَبُو عَمْرٍو اِبْن ُالصَّلَاحِ : وَفِيهِ إِشْكَالٌ لِبُعْدِ مَعْنَى السُّنَّة مِنْ مَعْنَى الْفِطْرَة فِي اللُّغَة قَالَ : فَلَعَلَّ وَجْهَهُ أَنَّ أَصْله سُنَّةَ الْفِطْرَة أَوْ آدَابُ الْفِطْرَة حُذِفَ الْمُضَاف وَأُقِيمَ الْمُضَاف إِلَيْهِ مَقَامَهُ
Artinya, “Menurut Abu ‘Amr Ibnus Shalah, dalam konteks ini (yaitu pemaknaan fitrah dengan sunah) terdapat persoalan serius (musykil) sebab secara bahasa terdapat jarak yang jauh antara makna sunah dengan fithrah. Karena itu menurutnya kemungkinan yang tepat adalah bahwa asalnya adalah tersusun dari sunatul fithrah atau adabul fithrah, kemudian dibuang mudhaf-nya (kata sunah atau adab) sehingga kata al-fithrah (mudhaf ilaih) menempati posisi kata sunah atau adab,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz I, halaman 338).
Terlepas dari perbedaan pandangan para ulama dalam menafsirkan kata fithrah yang terdapat dalam hadits tersebut, menurut Muhyiddin Syaraf An-Nawawi tafsir yang tepat atas kata fithrah dalam konteks ini adalah sunah. Sebab, tak bisa disangkal bahwa terdapat riwayat dari sunah Nabi saw mengenai memotong jenggot, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.
قُلْتُ تَفْسِيرُ الْفِطْرَةِ هُنَا بِالسُّنَّةِ هُوَ الصَّوَابُ: فَفِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ مِنَ السُّنَّةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَنَتْفُ الْاِبْطِ وَتَقْلِيمُ الْاَظْفَارِ
Artinya, “Menurut saya (Muhyiddin Syaraf An-Nawawi) tafsir kata fitrah yang tetap atau benar dalam hadits tersebut adalah sunah. Sebab, terdapat riwayat dari Shahih Al-Bukhari dari Ibnu Umar RA dari Nabi SAW, ia bersabda, ‘Di antara yang termasuk dari sunah adalah mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku,’” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz I, halaman 338).
Senada dengan apa yang dikemukakan An-Nawawi adalah apa yang dikemukakan oleh penulis kitab An-Nihayah fi Gharibil Hadits yaitu Ibnul Atsir. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Al-Mubarakfuri dalam Kitab Tuhfatul Ahwadzi yang merupakan anotasi atas Kitab Sunan At-Tirmidzi.
Menurut Ibnul Atsir bahwa kata fithrah—sebagaimana terdapat dalam hadits di atas—maknanya adalah sunah. Sunah dalam hal ini yang dimaksudkan adalah kebiasaan yang dilakukan oleh para nabi di mana kita diperintahkan untuk mengikutinya.
Lebih lanjut Al-Mubarakfuri juga menyuguhkan padangan penulis kitab Majma’ul Bihar yaitu Syekh Muhamad Thahir yang menyatakan bahwa maksud fithrah di sini adalah kebiasaan terdahulu yang telah dipilih oleh para nabi dan disepakati oleh semua syariat sehingga seolah-oleh kebiasaan tersebut menjadi sesuatu yang bersifat tabiat atau dari sananya (amrun jibilliy) di mana mereka (para nabi) diciptakan menurutnya (tabiat tersebut).
قَوْلُهُ ( خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ ) قَالَ فِي النِّهَايَةِ أَيْ مِنَ السُّنَّةِ يَعْنِي سُنَنَ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ اَلَّتِي أُمِرْنَا أَنْ نَقْتَدِيَ بِهِمْ وَقَالَ فِي مَجْمَعِ الْبِحَارِ أَيْ مِنَ السُّنَّةِ الْقَدِيمَةِ اَلَّتِي اِخْتَارَهَا الْأَنْبِيَاءُ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ وَاتَّفَقَتْ عَلَيْهَا الشَّرَائِعُ فَكَأَنَّهَا أَمْرٌ جِبِلِيٌّ فُطِرُوا عَلَيْهِ مِنْهَا قَصُّ الشَّارِبِ
Artinya, “Sabda Nabi saw yaitu, ‘Lima perkara merupakan fitrah’. Menurut penulis kitab An-Nihayah arti dari fithrah dalam sabda Nabi tersebut adalah sunah, maksudnya adalah sunah atau kebiasaan yang biasa dipraktikkan oleh para nabi alaihimus salam di mana kita diperintahkan untuk mengikutinya. Sedangkan menurut penulis kitab Majma’ul Bihar maksudnya adalah sunah masa lampau yang telah dipilih oleh para nabi ‘alahimus salam (untuk dijalankan, pent) dan disepakati oleh semua syariat sehingga seakan-akan hal tersebut menjadi perkara yang sudah dari sananya (amrun jibilly/tabiat dasar) di mana mereka diciptakan menurutnya, seperti mencukur kumis,” (Lihat Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, Beirut, Darul Kutub Al-‘llmiyyah, juz VIII, halaman 27).
Berangkat dari penjelasan di atas, maka setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan pandangan di antara para ulama mengenai makna kata fithrah dalam hadits di atas. Pandangan pertama menyatakan bahwa maknanya adalah agama. Sedang pandangan kedua menyatakan maknanya adalah sunah.
Pandangan kedua ini menurut An-Nawawi adalah pandangan yang tepat. Sedangkan sunah yang dimaksud di dalam hadits tersebut menurut Ibnul Atsir lebih tepatnya adalah kebiasaan yang biasa dilakukan oleh para nabi di mana kita dianjurkan untuk mengikutinya.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul Muwaffiq ila Aqwamith Thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
(Mahbub Ma’afi Ramdlan)