Dzikir merupakan ibadah unggulan yang bisa dilakukan dimana saja. Tiada batas. Bahkan dianjurkan untuk dilakukan sebanyak-banyaknya. Semakin banyak waktu yang digunakan dan jumlah bilangan dzikir, maka seorang hamba akan semakin dekat dengan Allah Ta’ala.
Namun, ada satu kejadian yang dialami oleh seorang hamba sebagaimana terjadi pada salah satu murid Imam al-Ghazali. Sang murid mengaku dalam konsultasinya. Semakin rajin berdzikir, mengapa ada orang yang justru semakin dekat dengan setan terlaknat?
“Syaikh,” tuturnya, “bukankah dzikir membuat seorang beriman dekat dengan Allah Ta’ala dan setan berlari darinya?”
“Betul,” jawab Imam al-Ghazali.
“Tapi, kenapa ada orang yang rajin berdzikir dan justru dekat dengan amalan-amalan setan bahkan menjadi pasukannya?” lanjut sang murid.
Laki-laki yang menjadi imam para penempuh jalan tasawuf ini pun bertutur, “Bagaimana menurutmu dengan orang yang mengusir anjing, tapi dia masih menyimpan tulang dan berbagai makanan kesukaan anjing di sekitarnya?”
“Tentu,” jawab sang murid, “anjing itu akan kembali datang setelah diusir.”
Sang imam menjelaskan, demikian pula dengan orang-orang yang rajin berdzikir tapi masih menyimpan berbagai penyakit hati di dalam dirinya. Setan akan terus datang dan mendekat bahkan bersahabat dengannya.
Ialah kesombongan, dengki, syirik, kasar, dan berbagai penyakit hati lainnya. Tatkala penyakit-penyakit itu terdapat di dalam diri seorang hamba, maka setan terlaknat akan senantiasa datang, mengakrabkan diri, lalu menjadi sahabat dekatnya.
Inilah esensi dzikir yang sering dilupakan oleh sebagian besar kaum Muslimin. Mereka hanya fokus pada dzikir jahr dan melupakan dzikir sirr. Mereka lebih suka dzikir ritual dibanding dzikir dengan perbuatan. Mereka hanya berhenti pada tataran jumlah, tapi melupakan akhlak yang seharusnya menjadi bukti pertama dari bagusnya dzikir yang dilakukan.
Maka ada orang yang rajin berdzikir, tapi tetap sibuk dengan hal yang sia-sia. Banyak pula orang yang ikut berbagai majlis dzikir, tapi kelakuan dan kehidupannya justru semakin jauh dari nilai-nilai Ilahiah.
Meskipun, mereka masih lebih baik daripada orang buruk yang tidak berdzikir. Sebagaimana dinasihatkan oleh Imam Ibnu Athailah as-Sakandari, “Orang yang lalai saat berdzikir lebih baik daripada orang lalai yang tidak berdzikir.”
Semoga kita bisa naik kelas dari dzikir lisan menjadi dzikir hati tanpa mengesampingkan dzikir lisan. Aamiin.
Wallahu a’lam.