Pertanyaan :
Bagaimana hukum menyentuh imam oleh orang yang akan bermakmum?
Jawab :
Adapun hukumnya menyentuh semata-mata, maka boleh (mubah) tetapi kalau mendatangkan terkejutnya si imam yang sangat, maka hukumnya haram,
atau terkejut sedikit atau menjadikan sangkaan orang, bahwa menyentuh itu sunat atau wajib, maka hukumnya itu makruh,
kalau meyakinkan ketidak-terkejutnya imam bahkan menyangka dapat mengingatkan imam supaya niat menjadi imam, maka hukum menyentuhnya itu baik (mustahab).
Keterangan, dari kitab:
Mauhibah Dzi al-Fadhl[1]
(وَيَحْرُمُ) عَلَى كُلِّ أَحَدٍ (الْجَهْرُ) فِي الصَّلاَةِ وَخَارِجِهَا (إِنْ شَوَّشَ عَلَى غَيْرِهِ) مِنْ نَحْوِ مُصَلٍّ أَوْ قَارِئٍ أَوْ نَائِمٍ لِلضَّرَرِ وَيُرْجَعُ لِقَوْلِ الْمُتَشَوِّشِ وَلَوْ فَاسِقًا لِأَنَّهُ لاَ يُعْرَفُ إِلاَّ مِنْهُ. وَمَا ذَكَرَهُ مِنَ الْحُرْمَةِ ظَاهِرٌ لَكِنْ يُنَافِيْهِ كَلاَمُ الْمَجْمُوْعِ وَغَيْرِهِ. فَإِنَّهُ كَالصَّرِيْحِ فِي عَدَمِهَا إِلاَّ أَنْ يُجْمَعَ بِحَمْلِهِ عَلَى مَا إِذَا خَافَ التَّشْوِيْشَ
(قَوْلُهُ عَلَى مَا إِذَا خَافَ التَّشْوِيْشَ) أَيْ وَمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ مِنَ الْحُرْمَةِ عَلَى مَا إِذَا اِشْتَدَّ. وَعِبَارَةُ اْلإِيْعَابِ يَنْبَغِيْ حَمْلُ قَوْلِ الْمَجْمُوْعِ وَإِنْ آذَى جَارَهُ عَلَى إِيْذاَءٍ خَفِيْفٍ يُتَسَامَحُ بِهِ بِخِلاَفِ جَهْرٍ يُعَطِّلُهُ عَنِ الْقِرَاءَةِ بِالْكُلِّيَّةِ فَيَنْبَغِيْ حُرْمَتُهُ.
(Dan diharamkan) bagi siapapun (bersuara keras), baik di dalam shalat atau di luar shalat (jika mengganggu orang lain), seperti orang yang sedang shalat, membaca atau tidur, karena merugikan. Dan kasus ini dikembalikan pada pendapatnya orang yang terganggu, meskipun ia orang yang fasik. Sebab, terganggu dan tidaknya sesorang hanya diketahui oleh dirinya. Keharaman yang disebut penulis itu cukup jelas, namun pendapat kitab al-Majmu’ dan lainnya menafikannya. Sebab pendapat tersebut seolah jelas-jelas menafikan keharaman itu, kecuali bila dijami’kan (dicarikan titik temunya) dengan mengarahkannya pada kasus ketika khawatir akan mengganggu.
(Ungkapan penulis: “Pada kasus ketika khawatir akan mengganggu.”) Maksudnya, dan mengarahkan keharaman yang disebut penulis pada kasus ketika sangat mengganggu. Dan redaksi kitab al-I’ab menyebutkan: “Semestinya ungkapan al-Majmu’: “Dan meskipun mengganggu orang yang di dekatnya.” itu diarahkan pada gangguan ringan yang ditolelir. Lain halnya dengan mengeraskan suara yang bisa membuat orang di dekatnya itu lalai dari semaua bacaan al-Qur’annya, maka semestinya hal tersebut haram.”
Fathul Mu’in[2]
(وَنِيَةُ إِمَامَةٍ) أَوْ جَمَاعَةٍ (سُنَّةٌ لِإِمَامٍ فِيْ غَيْرِ جُمْعَةٍ) لِيَنَالَ فَضْلَ ... جَمَعَةٍ. وَإِنْ نَوَاهُ فِي الْأَثْنَاءِ حَصَلَ لَهُ الْفَضْلُ مِنْ حِيْنَئِذٍ، أَمَّا فِي الْجُمُعَةِ فَتَلْزَمُهُ مَعَ التَّحَرُّمِ.
Niat menjadi imam atau berjamaah bagi imam adalah sunah, di luar shalat jamaah, supaya mendapat keutamaan berjamaah. Bila ia meniatinya di tengah mengerjakan shalat, maka ia mendapat keutamaan itu. Adapun dalam shalat Jum’at wajib baginya niat menjadi imam bersamaan takbiratul ihram.
[1] Muhammad Mahfudz al-Tarmasi al-Jawi, Mauhibah Dzi al-Fadhl, (Mesir: al-Amirah al-Syarafiya, 1326 H), Jilid II, h. 396-397.
[2] Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in pada I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t .th). Jilid II, h. 21.
Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 132
KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-8
Di Jakarta Pada Tanggal 12 Muharram 1352 H. / 7 Mei 1933 M.